Metode Experiential Learning
Dalam meningkatkan kepedulian sangat
penting agar individu mampu bersikap secara efektif dan dapat diterima dengan
baik di lingkungan sosialnya. Dalam teknik penerapan tersebut, hendaknya
mengandung unsur-unsur yang terdiri dari unsur-unsur afektif (feeling), kognitif (thinking), dan konasi (doing).
Unsur-unsur tersebut akan membentuk pemahaman yang integral dalam diri siswa.
Metode yang digunakan dalam pelatihan kepedulian ini adalah eksperential learning.
Tujuan akhir dari penerapan model
ini yaitu siswa memiliki keterampilan transfer
of learning, sehingga diharapkan mereka dapat mentransfer kepedulian ke
situasi dalam kehidupan sehari-hari. Transfer
of learning adalah keterampilan individu mengontrol pengetahuan yang
diperoleh untuk diaplikasikan dalam masalah baru. Menurut Gagne (1974) individu
yang memiliki keterampilan ini, dikatakan memiliki strategi kognitif. yaitu
kemampuan internal seseorang yang terorganisasi yang dapat membantu siswa dalam
proses belajar, proses berpikir, memecahkan masalah dan mengambil keputusan.
Proses pembelajaran dengan menggunakan strategi kognitif merupakan proses reflection in action, yang didasarkan
pada teori experiential learning
(Pannen, 1996).
Experiential
Learning Theory (ELT) yang dikembangkan oleh David Kolb sekitar awal
tahun 1980-an, yang menekankan pada sebuah model pembelajaran yang holistik
dalam proses belajar. Dalam experiental
learning pengalaman mempunyai peran sentral dalam proses belajar. Dalam
teori experiential learning, belajar
merupakan proses di mana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman
(experience). Pengetahuan merupakan
hasil perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman (Kolb, 1984).
Experiential
learning secara harfiah berarti belajar dari aktifitas mengalami dan merefleksikan
apa yang telah dipelajari (Greef, 2005). Eksperiential
bukan sekedar mendengarkan tetapi lebih pada mensimulasikan situasi kehidupan
nyata, misalnya bermain peran, dan berpartisipasi dalam permainan. Dalam eksperiential learning melibatkan tubuh,
pikiran, perasaan, dan tindakan. Oleh karena itu merupakan pengalaman belajar
pribadi yang utuh.
Ada dua bentuk model pemahaman pengalaman, yaitu pengalaman nyata
(concrete experience) dan konsep
abstrak (abstract conceptualization).
Selain itu ada pula dua bentuk model transformasi pengalaman, yaitu pengamatan
reflektif (observation reflection)
dan pengalaman aktif (active experience).
Tahapan-tahapan model pembelajaran experince
learning adalah:
1.
Concrete
experience (feeling) berarti belajar dari pengalaman-pengalaman yang
spesifik, peka terhadap situasi. Concrete
experience merupakan tahap belajar melalui intuisi dengan menekankan
pengalaman personal, mengalami dan merasakan. Dalam tahap ini aktifitas yang
mendukung misalnya diskusi kelompok kecil, simulasi, games, role play, teknik
drama, video atau film, pemberian contoh, dan cerita (Kohonen, 2001).
2.
Reflective
observation (watching) yakni mengamati sebelum membuat suatu keputusan
dengan mengamati lingkungan dari perspektif-perspektif yang berbeda. Memandang
dari berbagai hal untuk memperoleh suatu makna. Pada tahap ini merupakan
belajar melalui persepsi. Fokus pada memahami ide dan situasi dengan observasi
secara hati-hati. Learner mengaitkan bagaimana sesuatu itu terjadi dengan
melihat dari perspektif yang berbeda dan mengandalkan pada suatu pemikiran,
perasaan dan judgement. Teknik instruksional yang dapat dilakukan antara lain
melalui jurnal pribadi, essay reflektif, laporan observasi, diskusi dan thought questions.
3.
Abstract
conceptualization (thinking) yakni analisa logis dari
gagasan-gagasan dan bertindak sesuai pemahaman pada suatu situasi sehingga
memunculkan ide-ide atau konsep-konsep baru.
Abstract conceptualization
merupakan belajar dengan pemikiran yang tepat dan teliti, menggunakan
pendekatan sistematik untuk menstruktur dan menyusun kerangka fenomena. Teknik
instruksional antara lain konstruksi teori, lecturing
and building models and analogies.
4.
Active
experimentation (doing) berarti kemampuan untuk melaksanakan berbagai hal
dengan orang-orang dan melakukan tindakan berdasarkan peristiwa termasuk
pengambilan resiko. Active
experimentation merupakan belajar melalui tindakan, menekankan pada
aplikasi praktis dalam konteks kehidupan nyata. Teknik instruksional yang digunakan
antara lain fieldwork, laboratory work,
games, drama dan simulasi.
Dalam proses intervensi dengan
metode experiental learning,
pengajar/tutor berfungsi sebagai seorang fasilitator, artinya tutor hanya
memberikan arah (guide) tidak
memberikan informasi secara sepihak dan menjadi sumber pengetahuan tunggal.
Setelah siswa melakukan suatu aktivitas, selanjutnya siswa akan
mengabstraksikan sendiri pengalamannya. Seperti misalnya apa yang dirasakan
oleh mereka dalam menyelenggarakan pertunjukkan, permasalahan yang dihadapi,
bagaimana cara menyelesaikan masalah, apa yang dapat dipelajari untuk
memperbaiki diri di masa depan. Jadi, pengajar lebih menggali pengalaman
peserta itu sendiri. Untuk itu kemampuan yang diperlukan untuk menjadi
fasilitator adalah mengobservasi perilaku siswa, menghidupkan suasana aktif
partisipatif, bersikap netral dan percaya atas kemampuan siswa untuk memecahkan
persoalannya sendiri. Dengan demikian pembelajaran dengan metode ini akan
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan sehingga peserta didik lebih
memahami manfaat ilmu yang dipelajarinya.
Kelebihan model experiential learning yakni hasilnya dapat dirasakan bahwa belajar
melalui pengalaman lebih efektif dan dapat mencapai tujuan secara maksimal.
Beberapa manfaat model experiential
learning dalam membangun dan meningkatkan kerjasama kelompok antara lain
adalah: 1) mengembangkan dan meningkatkan rasa saling ketergantungan antar
sesama anggota kelompok, 2) meningkatkan keterlibatan dalam pemecahan masalah
dan pengambilan keputusan, 3) mengidentifikasi dan memanfaatkan bakat
tersembunyi dan kepemimpinan, 4) meningkatkan empati dan pemahaman antar sesama
anggota kelompok.
Sedangkan manfaat model experiential learning secara individual
antara lain: 1) meningkatkan kesadaran akan rasa percaya diri, 2) meningkatkan
kemampuan berkomunikasi, perencanaan dan pemecahan masalah, 3) menumbuhkan dan
meningkatkan kemampuan untuk menghadapi situasi yang buruk, 4) menumbuhkan dan
meningkatkan rasa percaya antar sesama anggota kelompok, 5) menumbuhkan dan
meningkatkan semangat kerjasama dan kemampuan untuk berkompromi, 6) menumbuhkan
dan meningkatkan komitmen dan tanggung jawab, 7) menumbuhkan dan meningkatkan
kemauan untuk memberi dan menerima bantuan, 8) mengembangkan ketangkasan,
kemampuan fisik dan koordinasi.
SUMBER RUJUKAN:
Kolb D.A. (1984)
'Experiential Learning experience as a
source of learning and development', New Jersey: Prentice Hall
No comments:
Post a Comment