NARRATIVE THERAPY
a.
Pengertian
Konseling Naratif
Dalam konseling naratif, hal yang paling
mendasar adalah sebuah cerita dan keterampilan dan mendengar dari konselor. Monk
(1997) mengungkapkan bahwa cerita memegang peranan penting dalam pelaksanaan
proses pendekatan naratif. Ia menjelaskan bahwa cerita membentuk realitas yang
dalam, konseli membangun dan membentuk apa yang ia lihat, rasakan dan yang ia
lakukan. Cerita kita hidup dan tumbuh dari percakapan dalam konteks sosial dan
budaya. Lebih lanjut ia menyatakan cerita tidak hanya mengubah orang yang
mengatakan cerita, tetapi juga mengubah konselor yang beruntung menjadi bagian
dari proses tersebut.
Selanjutnya Epston (Roberts dan Greene,
2008) mengatakan bahwa semua teori kontruksionis sosial menekankan pada
konselor untuk mendengarkan tanpa menghakimi atau menyalahkan, menegaskan
pendapat dan menghargai mereka. Lindsley (Corey, 2009) menekankan bahwa
konselor dapat mendorong klien untuk mempertimbangkan kembali peniaian absolut
yang bergerak ke arah melihat keduanya “baik” dan “buruk” unsur-unsur dalam sebuah
situasi. Konselor naratif melakukan upaya tanpa memaksakan sistem nilai dan
interpretasinya. Konselor dan konseli menciptakan makna dan kemungkinan-kemungkinan
baru bagi klien yang berbagi cerita. Konselor naratif membawa cerita kepada
usaha tentang sikap tertentu seperti: optimisme, hormat, keingintahuan,
ketekunan, dan menghargai klien untuk mengetahui, mereka dapat mendengarkan
masalah klien tanpa terjebak dengan cerita konseli. Sebagai konselor naratif,
dalam mendengarkan cerita klien, mereka tetap waspada terhadap rincian yang
memberikan bukti dari kompetensi klien dalam melawan masalah yang dihadapnya.
Friedman dan Combs (Roberts
dan Greene, 2008) menjelaskan bahwa konselor dianjurkan
untuk membangun pendekatan kolaboratif dengan minat khusus pada klien dengan
mendengarkan cerita-cerita untuk mencari tahu dalam kehidupan klien. Pendekatan
naratif menggunakan pertanyaan sebagai cara untuk melibatkan klien dan
memfasilitasi mereka melakukan eksplorasi diri, untuk menghindari diagnosis dan
pelabelan klien atau menerima sepenuhnya berdasarkan deskripsi masalah; untuk
membantu klien dalam pemetaan pengaruh masalah yang dimiliki dalam
kehidupan mareka; dan untuk membantu klien memisahkan diri dari cerita-cerita
yang dominan yang telah diinternalisasi sehingga hati/ pikiran yang sering kali
disebut sebagai ruang dapat dibuka untuk menciptakan kisah kehidupan alternatif.
Dari beberapa pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa
konseling naratif adalah konseling yang menggunakan cerita narasi dalam
pengubahan kondisi konseli. Cerita yang dibuat oleh konseli merupakan cerita
yang bermakna dalam permasalahannya hidupnya.
b.
Kondisi
Pengubahan
1) Tujuan
Konseling
Tujuan umum konseling naratif adalah mengundang orang untuk
menggambarkan pengalaman mereka yang baru. Dalam melakukan ini, mereka membuka
pandangan baru dari apa yang mungkin mereka lakukan. Cerita yang baru ini
memungkinkan klien untuk mengembangkan makna-makna baru sehubugan dengan
masalah pikiran, perasaan dan perilaku (Freedman & Combs dalam Mcleod, 2010).
Konseling naratif hampir selalu mencakup kesadaran akan dampak dari berbagai
aspek kebudayaan yang dominan pada kehidupan manusia. Praktisi Naratif berusaha
untuk memperluas perspektif dan fokus dan memfasilitasi penemuan atau
penciptaan pilihan baru yang unik bagi orang-orang yang mereka lihat
2) Fungsi
dan Peran Konselor
Konsep hormat, rasa ingin tahu,
keterbukaan, empati, kontak dan bahkan terpesona dipandang sebagai keharusan yang
relasional. Tugas utama konselor adalah membantu konseli membangun alur cerita
pilihan. Konselor Naratif mengadopsi sikap hormat yanng dicirikan sebagai rasa
ingin tahu dan bekerja sama dengan konseli
untuk menjelaskan kedua dampak dari masalah mereka dan apa yang mereka lakukan
untuk mengurangi efek dari masalah (Mc Leod, 2010). Salah satu fungsi konselor adalah
menanyakan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan pada jawaban dari konseli dan menghasilkan
pertanyaan lebih lanjut.
White dan Epston (Roberts dan Greene,
2008) mulai dengan eksplorasi konseli dalam hubungannya dengan masalah yang
diajukan. Hal ini tidak biasa bagi konseli untuk menampilkan cerita awal di
mana mereka dan masalah yang disatukan, seolah-olah satu dan sama. White
menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan untuk memisahkan masalah dari
orang yang terkena masalah.
Konselor naratif menganggap klien adalah
ahli ketika ia datang untuk apa yang ia inginkan dalam hidup. Konselor naratif
cenderung untuk menghindari penggunaan bahasa yang mengaktifkan diagnosis,
penilaian dan intervensi. Fungsi-fungsi seperti diagnosis, penialian dan
intervensi sering memberikan prioritas kepada konselor itu sebuah “kebenaran’
atas pengetahuan konseli tentang kehidupan mereka sendiri (Corey, 2009).
3) Hubungan
Konselor dan Konseli
Kualitas seorang konselor
sangat penting untuk membawa ke arah usaha konseling. Beberapa di antaranya
mencakup sikap optimisme dan rasa hormat, keingintahuan dan ketekunan,
menghargai pengetahuan klien dan menciptakan hubungan khusus yang ditandai
dengan pembagian kewenangan yang nyata dalam dialog (Mcleod, 2010).
Kolaborasi,belas-kasih refleksi, dan penemuan adalah ciri hubungan yang
terapeutik
Jika hubngan tersebut tidak
kolaboratif, konselor harus menyadari bagaimana kewenangan yang dimilkinya memanifestasikan
dirinya dalam praktek profesional. Ini tidak berarti bahwa konselor tidak memiliki
otoritas sebagai seorang profesional. Dia menggunakan otoritas ini, walaupun
dengan memperlakukan klien sebagai ahli dalam kehidupan mereka sendiri.
Capuzzi dan Groos (2007)
menjelaskan kerja sama ini sebagai coauthoring berbagi otoritas. Konselor
berfungsi sebagai penulis ketika mereka memiliki otoritas untuk berbicara atas
nama mereka sendiri.Dalam pendekatan Naratif, “konselor sebagai ahli”
digantikan oleh “konseli sebagai ahli.”
c.
Prosedur
Pelaksanaan
Corey (2009) menjelaskan prosedur pelaksanaan konseling naratif
sebagai berikut:
1.
Berkolaborasi dengan konseli
untuk merumuskan masalah yang dihadapi oleh konseli.
2.
Menyelidiki bagaimana
masalah telah mengganggu, mendominasi, atau mengecilkan hati konseli.
3.
Mengundang konseli untuk
melihat atau menceritakannya dari perspektif yang berbeda dengan menawarkan
makna alternatif
4.
Menemukan saat dimana konseli
tidak didominasi atau berkecil hati oleh masalah dengan mencari masalah
pengecualian.
5.
Menemukan bukti-bukti
sejarah untuk mendukung pandangan baru konseli yang cukup kompeten untuk mampu
berdiri, kalah, atau melarikan diri dari dominasi atau penindasan
masalah.(dalam tahap ini identitas orang dan kisah kehidupan mulai dapat
ditulis ulang).
6.
Meminta konseli untuk
berspekulasi mengenai masa depan apa yang diharapkan. Sebagian klien menjadi
bebas dari masalah-jenuh akan cerita masa lalu, ia dapat membayangkan dan
merencanakan masa depan yang tidak terlalu bermasalah.
7.
Menemukan atau membuat
penonton untuk memahami dan mendukung cerita baru.Tidaklah cukup untuk
membacakan cerita baru. konseli perlu hidup dengan ceria baru di luar
terapi.Karena masalah tersebut awalnya dikembangkan untuk konteks sosial,
adalah penting untuk melibatkan lingkungan sosial dalam mendukung kisah
kehidupan baru yang telah muncul dalam percakapan dengan terapis.
Dari pendapat tersebut dapat disimpullkan bahwa pada dasarnya pada
pelaksanaan konseling naratif, konselor berupaya membuat siswa agar ia mampu
membuat menuliskan cerita-cerita yang berdasarkan kisah hidupnya sehingga ia
dapat menangkap makna yang terkandung didalamnya. Dari cerita tersebut dapat
dilihat sumber masalah dan waktu yang digunakan dalam membuat cerita alternatif
lainnya.
d.
Teknik
Konseling Naratif
Penerapan
konseling naratif lebih begantung pada sikap atau perspektif konselor daripada
teknik. Dalam praktek konseling naratif ,tidak ada resep, tidak ada penetapan
agenda, tidak ada formula yang dapat diikuti konselor untuk menetapkan hasil
yang positip (Capuzzi dan Groos, 2007). Ketika pertanyaan eksternalisasi
diajukan terutama sebagai suatu teknik, intervensi akan menjadi dangkal,
dipaksa, dan tidak mungkin menghasilkan efek terapeutik yang signifikan (Corey,
2009). Jika konseling dilakukan demgan menggunakan pendekatan formuls, klien
akan merasa bahwa segala sesuatu di lakukan terhadap mereka dan merasa
ditinggalkan dalam percakapan (Monk, 1997).
Sebagai
suatu pendekatan, konseling Naratif lebih dari penerapan keterampilan; itu
didasarkan pada karakteristik pribadi terapis yang menciptakan iklim yang
mendorong klien untuk melihat kisah-kisah mereka dari berbagai perspektif.
Pendekatan ini juga merupakan ekspresi sikap etis, yang didasarkan kerangka
filosofis. Kerangka konseptualnya adalah praktek-pratek yang diterapkan untuk
membantu klien dalan menemukan makna-makna baru dan kemungkinan-kemungkinan
baru dalam hidup mereka (Seligman, 2006).
1)
Pertanyaan-pertanyaan
Konselor
Naratif menggunakan pertanyaan sebagai suatu cara untuk menghasilkan pengalaman
daripada mengumpukan informasi.Tujuan pertanyaan ini adalah untuk menemukan dan
membangun pengalaman klien sehingga terapis memiliki arah untuk mengejar.
Pertanyaan selalu bertanya dari posisi hormat, keingintahuan, dan keterbukaan.
Konselor
menggunakan pendekatan Naratif ingin mendekonstruksi wacana yang mendukung
keberadaan masalah. Melalui pengajuan pertanyaan konselor memberikan kesempatan
klien untuk mengeksplorasi berbagai dimensi situasi kehidupan mereka. Hal ini
dilakukan untuk membantu membawa asumsi-asumsi budaya kepada perkembangan
masalah. Konselor tertarik untuk mengetahui bagaimana masalah terlerbih
dahulu menjadi jelas, dan bagaimana mereka mempengaruhi pandangan konseli
sendiri (Roberts dan greene, 2008)
2)
Pencarian hasil yang unik
Dalam
pendekatan Naratif, pertanyaan eksternalisasi adalah pertanyaan yang
diikuti dengan hasil yang unik. Apakah ini dilakukan dengan memilih untuk
perhatian setiap pengalaman yang terpisah dari cerita masalah, terlepas
bagaimana hal itu mungkin tampak tidak penting bagi konseli. Konselor mungkin
bertanya:”Apakah pernah ada waktu dimana kemarahan membawa Anda pada sebuah
hasil yang menyenangkan, dan Anda melawan? Apakah itu seperti Anda? Bagaimana
kau melakukannya?”. Pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan untuk menyoroti masalah
saat-saat ketika tidak terjadi atau ketika masalah telah ditangani dengan
sukses. Hasil unik sering bisa ditemukan di masa lalu atau masa kini, tetapi
mereka juga dapat membuat hipotesis untuk masa depan.
3)
Cerita alternatif
Membangun
cerita baru sejalan dengan dekonstruksi yang dilakukan oleh konselor, dan
konselor naratif terbuka untuk mendengarkan cerita-cerita baru. Orang dapat
terus-menerus dan secara aktif menulis kembali kehidupan mereka, dan konselor
naratif mengundang konseli untuk menjadi penulis cerita alternatif, melalui” hasil unik” atau sesuatu yang tidak
dapat diprediksi oleh masalah (Corey, 2009).
e.
Kelemahan
Dan Kelebihan
White dan Epston (Roberts dan Greene, 2008)
menyebutkan beberapa kelebihan dan kekurangan dari konseling naratif. Adapun
kelemahan dan kelbihannya sebagai berikut:
1) Kelebihan
a) Kompeten
dan dapat dipercaya untuk menggunakan sumber daya kliendalam menciptakan solusi
yang lebih baik dan lebih banyak kisah yang meneguhkan hidup.
b) Banyak
praktisi dan penulis Postmodern menemukan bahwa klien mampu membuat membangun
diri yang signifikan bergerak menuju kehidupan yang lebih memuaskan dalam waktu
yang relatif singkat
c) Konseling
naratif banyak dijadikan dasar terapi lain seperti terapi famili dan dapat di
integrasikan dengan pendekatan lain.
d) Konseling
Naratif berkonsentrasi pada cerita-cerita masalah yang mendominasi dan
menundukkan pada tingkat pribadi, sosial, dan budaya (konseling ini sangat
relevan untuk konseling budaya klien yang beragam)
2) Kelemahan
a) Konseling
naratif telah memegang konstruksionis keyakinan sosial bahwa tidak ada
kebenaran mutlak
b) Tidak
ada formula atau resep untuk diikuti dan untuk memastikan hasil yang positif
c) Dengan
konseli yang beragam dapat mengharapkan konselor untuk bertindak sebagai ahli,
daripada klien harus ‘melakukan’ percakapan sendiri
SUMBER PUSTAKA
Corey, G. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont, CA: Brooks/Cole.
Capuzzi, D. & Gross, D.R. 2007. Counseling & Psychotherapy: Theories and Intervention. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Prentice-Hall
McLeod, John. 2010. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Kencana
No comments:
Post a Comment