Saturday, 28 March 2015

Narrative Therapy








NARRATIVE THERAPY
 
a.      Pengertian Konseling Naratif
Dalam konseling naratif, hal yang paling mendasar adalah sebuah cerita dan keterampilan dan mendengar dari konselor. Monk (1997) mengungkapkan bahwa cerita memegang peranan penting dalam pelaksanaan proses pendekatan naratif. Ia menjelaskan bahwa cerita membentuk realitas yang dalam, konseli membangun dan membentuk apa yang ia lihat, rasakan dan yang ia lakukan. Cerita kita hidup dan tumbuh dari percakapan dalam konteks sosial dan budaya. Lebih lanjut ia menyatakan cerita tidak hanya mengubah orang yang mengatakan cerita, tetapi juga mengubah konselor yang beruntung menjadi bagian dari proses tersebut.
Selanjutnya Epston (Roberts dan Greene, 2008) mengatakan bahwa semua teori kontruksionis sosial menekankan pada konselor untuk mendengarkan tanpa menghakimi atau menyalahkan, menegaskan pendapat dan menghargai mereka. Lindsley (Corey, 2009) menekankan bahwa konselor dapat mendorong klien untuk mempertimbangkan kembali peniaian absolut yang bergerak ke arah melihat keduanya “baik” dan “buruk” unsur-unsur dalam sebuah situasi. Konselor naratif melakukan upaya tanpa memaksakan sistem nilai dan interpretasinya. Konselor dan konseli menciptakan makna dan kemungkinan-kemungkinan baru bagi klien yang berbagi cerita. Konselor naratif membawa cerita kepada usaha tentang  sikap tertentu seperti: optimisme, hormat, keingintahuan, ketekunan, dan menghargai klien untuk mengetahui, mereka dapat mendengarkan masalah klien tanpa terjebak dengan cerita konseli. Sebagai konselor naratif, dalam mendengarkan cerita klien, mereka tetap waspada terhadap rincian yang memberikan bukti  dari kompetensi klien dalam melawan masalah yang dihadapnya.
Friedman dan Combs (Roberts dan Greene, 2008) menjelaskan bahwa konselor dianjurkan untuk membangun pendekatan kolaboratif dengan minat khusus pada klien dengan mendengarkan cerita-cerita untuk mencari tahu dalam kehidupan klien. Pendekatan naratif menggunakan pertanyaan sebagai cara untuk melibatkan klien dan memfasilitasi mereka melakukan eksplorasi diri, untuk menghindari diagnosis dan pelabelan klien atau menerima sepenuhnya berdasarkan deskripsi masalah; untuk membantu klien dalam pemetaan  pengaruh masalah yang dimiliki dalam kehidupan mareka; dan untuk membantu klien memisahkan diri dari cerita-cerita yang dominan yang telah diinternalisasi sehingga hati/ pikiran yang sering kali disebut sebagai ruang dapat dibuka untuk menciptakan kisah kehidupan alternatif.
Dari beberapa pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa konseling naratif adalah konseling yang menggunakan cerita narasi dalam pengubahan kondisi konseli. Cerita yang dibuat oleh konseli merupakan cerita yang bermakna dalam permasalahannya hidupnya.
b.      Kondisi Pengubahan
1)      Tujuan Konseling
Tujuan umum konseling naratif adalah mengundang orang untuk menggambarkan pengalaman mereka yang baru. Dalam melakukan ini, mereka membuka pandangan baru dari apa yang mungkin mereka lakukan. Cerita yang baru ini memungkinkan klien untuk mengembangkan makna-makna baru sehubugan dengan masalah pikiran, perasaan dan perilaku (Freedman & Combs dalam Mcleod, 2010). Konseling naratif hampir selalu mencakup kesadaran akan dampak dari berbagai aspek kebudayaan yang dominan pada kehidupan manusia. Praktisi Naratif berusaha untuk memperluas perspektif dan fokus dan memfasilitasi penemuan atau penciptaan pilihan baru yang unik bagi orang-orang yang mereka lihat
2)      Fungsi dan Peran Konselor
Konsep hormat, rasa ingin tahu, keterbukaan, empati, kontak dan bahkan terpesona dipandang sebagai keharusan yang relasional. Tugas utama konselor adalah membantu konseli membangun alur cerita pilihan. Konselor Naratif mengadopsi sikap hormat yanng dicirikan sebagai rasa ingin tahu dan bekerja sama  dengan konseli untuk menjelaskan kedua dampak dari masalah mereka dan apa yang mereka lakukan untuk mengurangi efek dari masalah (Mc Leod, 2010). Salah satu fungsi konselor adalah menanyakan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan pada jawaban dari konseli dan menghasilkan pertanyaan lebih lanjut.
White dan Epston (Roberts dan Greene, 2008) mulai dengan eksplorasi konseli dalam hubungannya dengan masalah yang diajukan. Hal ini tidak biasa bagi konseli untuk menampilkan cerita awal di mana mereka dan masalah yang disatukan, seolah-olah satu dan sama. White menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan untuk memisahkan masalah dari orang yang terkena masalah.
Konselor naratif menganggap klien adalah ahli ketika ia datang untuk apa yang ia inginkan dalam hidup. Konselor naratif cenderung untuk menghindari penggunaan bahasa yang mengaktifkan diagnosis, penilaian dan intervensi. Fungsi-fungsi seperti diagnosis, penialian dan intervensi sering memberikan prioritas kepada konselor itu sebuah “kebenaran’ atas pengetahuan konseli tentang kehidupan mereka sendiri (Corey, 2009).
3)      Hubungan Konselor dan Konseli
Kualitas seorang konselor sangat penting untuk membawa ke arah usaha konseling. Beberapa di antaranya mencakup sikap optimisme dan rasa hormat, keingintahuan dan ketekunan, menghargai pengetahuan klien dan menciptakan hubungan khusus yang ditandai dengan pembagian kewenangan yang nyata dalam dialog (Mcleod, 2010). Kolaborasi,belas-kasih refleksi, dan penemuan adalah ciri hubungan yang terapeutik
Jika hubngan tersebut tidak kolaboratif, konselor harus menyadari bagaimana kewenangan yang dimilkinya memanifestasikan dirinya dalam praktek profesional. Ini tidak berarti bahwa konselor tidak memiliki otoritas sebagai seorang profesional. Dia menggunakan otoritas ini, walaupun dengan memperlakukan klien sebagai ahli dalam kehidupan mereka sendiri.
Capuzzi dan Groos (2007) menjelaskan kerja sama ini sebagai coauthoring berbagi otoritas. Konselor berfungsi sebagai penulis ketika mereka memiliki otoritas untuk berbicara atas nama mereka sendiri.Dalam pendekatan Naratif, “konselor sebagai ahli”  digantikan oleh “konseli sebagai ahli.”

c.       Prosedur Pelaksanaan
Corey (2009) menjelaskan prosedur pelaksanaan konseling naratif sebagai berikut:
1.      Berkolaborasi dengan konseli untuk merumuskan masalah yang dihadapi oleh konseli.
2.      Menyelidiki bagaimana masalah telah mengganggu, mendominasi, atau mengecilkan hati konseli.
3.      Mengundang konseli untuk melihat atau menceritakannya dari perspektif yang berbeda dengan menawarkan makna alternatif
4.      Menemukan saat dimana konseli tidak didominasi atau berkecil hati oleh masalah dengan mencari masalah pengecualian.
5.      Menemukan bukti-bukti sejarah untuk mendukung pandangan baru konseli yang cukup kompeten untuk mampu berdiri, kalah, atau melarikan diri dari dominasi atau penindasan masalah.(dalam tahap ini identitas orang dan kisah kehidupan mulai dapat ditulis ulang).
6.      Meminta konseli untuk berspekulasi mengenai masa depan apa yang diharapkan. Sebagian klien menjadi bebas dari masalah-jenuh akan cerita masa lalu, ia dapat membayangkan dan merencanakan masa depan yang tidak terlalu bermasalah.
7.      Menemukan atau membuat penonton untuk memahami dan mendukung cerita baru.Tidaklah cukup untuk membacakan cerita baru. konseli perlu hidup dengan ceria baru di luar terapi.Karena masalah tersebut awalnya dikembangkan untuk konteks sosial, adalah penting untuk melibatkan lingkungan sosial dalam mendukung kisah kehidupan baru yang telah muncul dalam percakapan dengan terapis.
Dari pendapat tersebut dapat disimpullkan bahwa pada dasarnya pada pelaksanaan konseling naratif, konselor berupaya membuat siswa agar ia mampu membuat menuliskan cerita-cerita yang berdasarkan kisah hidupnya sehingga ia dapat menangkap makna yang terkandung didalamnya. Dari cerita tersebut dapat dilihat sumber masalah dan waktu yang digunakan dalam membuat cerita alternatif lainnya.
d.      Teknik Konseling Naratif
Penerapan konseling naratif lebih begantung pada sikap atau perspektif konselor daripada teknik. Dalam praktek konseling naratif ,tidak ada resep, tidak ada penetapan agenda, tidak ada formula yang dapat diikuti konselor untuk menetapkan hasil yang positip (Capuzzi dan Groos, 2007). Ketika pertanyaan eksternalisasi diajukan terutama sebagai suatu teknik, intervensi akan menjadi dangkal, dipaksa, dan tidak mungkin menghasilkan efek terapeutik yang signifikan (Corey, 2009). Jika konseling dilakukan demgan menggunakan pendekatan formuls, klien akan merasa bahwa segala sesuatu di lakukan terhadap mereka dan merasa ditinggalkan dalam percakapan (Monk, 1997).
Sebagai suatu pendekatan, konseling Naratif lebih dari penerapan keterampilan; itu didasarkan pada karakteristik pribadi terapis yang menciptakan iklim yang mendorong klien untuk melihat kisah-kisah mereka dari berbagai perspektif. Pendekatan ini juga merupakan ekspresi sikap etis, yang didasarkan kerangka filosofis. Kerangka konseptualnya adalah praktek-pratek yang diterapkan untuk membantu klien dalan menemukan makna-makna baru dan kemungkinan-kemungkinan baru dalam hidup mereka (Seligman, 2006).
1)      Pertanyaan-pertanyaan
Konselor Naratif menggunakan pertanyaan sebagai suatu cara untuk menghasilkan pengalaman daripada mengumpukan informasi.Tujuan pertanyaan ini adalah untuk menemukan dan membangun pengalaman klien sehingga terapis memiliki arah untuk mengejar. Pertanyaan selalu bertanya dari posisi hormat, keingintahuan, dan keterbukaan.
Konselor menggunakan pendekatan Naratif ingin mendekonstruksi wacana yang mendukung keberadaan masalah. Melalui pengajuan pertanyaan konselor memberikan kesempatan klien untuk mengeksplorasi berbagai dimensi situasi kehidupan mereka. Hal ini dilakukan untuk membantu membawa asumsi-asumsi budaya kepada perkembangan  masalah. Konselor tertarik untuk mengetahui bagaimana masalah terlerbih  dahulu menjadi jelas, dan bagaimana mereka mempengaruhi pandangan konseli sendiri (Roberts dan greene, 2008)
2)      Pencarian hasil yang unik
Dalam pendekatan Naratif, pertanyaan eksternalisasi adalah pertanyaan  yang diikuti dengan hasil yang unik. Apakah ini dilakukan dengan memilih untuk perhatian setiap pengalaman yang terpisah dari cerita masalah, terlepas bagaimana hal itu mungkin tampak tidak penting bagi konseli. Konselor mungkin bertanya:”Apakah pernah ada waktu dimana kemarahan membawa Anda pada sebuah hasil yang menyenangkan, dan Anda melawan? Apakah itu seperti Anda? Bagaimana kau melakukannya?”. Pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan untuk menyoroti masalah saat-saat ketika tidak terjadi atau ketika masalah telah ditangani dengan sukses. Hasil unik sering bisa ditemukan di masa lalu atau masa kini, tetapi mereka juga dapat membuat hipotesis untuk masa depan.
3)      Cerita alternatif
Membangun cerita baru sejalan dengan dekonstruksi yang dilakukan oleh konselor, dan konselor naratif terbuka untuk mendengarkan cerita-cerita baru. Orang dapat terus-menerus dan secara aktif menulis kembali kehidupan mereka, dan konselor naratif mengundang konseli untuk menjadi penulis cerita alternatif, melalui” hasil unik” atau sesuatu yang tidak dapat diprediksi oleh masalah (Corey, 2009).
e.       Kelemahan Dan Kelebihan
White dan Epston (Roberts dan Greene, 2008) menyebutkan beberapa kelebihan dan kekurangan dari konseling naratif. Adapun kelemahan dan kelbihannya sebagai berikut:
1)      Kelebihan
a)      Kompeten dan dapat dipercaya untuk menggunakan sumber daya kliendalam menciptakan solusi yang lebih baik dan lebih banyak kisah yang meneguhkan hidup.
b)      Banyak praktisi dan penulis Postmodern menemukan bahwa klien mampu membuat membangun diri yang signifikan bergerak menuju kehidupan yang lebih memuaskan dalam waktu yang relatif singkat
c)      Konseling naratif banyak dijadikan dasar terapi lain seperti terapi famili dan dapat di integrasikan dengan pendekatan lain.
d)     Konseling Naratif berkonsentrasi pada cerita-cerita masalah yang mendominasi dan menundukkan pada tingkat pribadi, sosial, dan budaya (konseling ini sangat relevan untuk konseling budaya klien yang beragam)
2)      Kelemahan
a)      Konseling naratif telah memegang konstruksionis keyakinan sosial bahwa tidak ada kebenaran mutlak
b)      Tidak ada formula atau resep untuk diikuti dan untuk memastikan hasil yang positif
c)      Dengan konseli yang beragam dapat mengharapkan konselor untuk bertindak sebagai ahli, daripada klien harus ‘melakukan’ percakapan sendiri


SUMBER PUSTAKA
Corey, G. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy Belmont, CA: Brooks/Cole.
Capuzzi, D. & Gross, D.R. 2007. Counseling & Psychotherapy: Theories and Intervention. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Prentice-Hall
McLeod, John. 2010. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Kencana


No comments:

Post a Comment